What Chinese parents understand is that nothing is fun until you’re good at it
Menarik ketika kita membaca seorang ibu berdarah Cina memdidik anak-anaknya. Tidak seperti yang kebanyakan dipandang kebanyakan orang, sikap mereka yang tegas dan kerap terlihat ‘memaksa’ ketika mendidik anak sebenarnya menjadi salah satu bukti kecintaan mereka pada anak-anaknya. Di dalam buku ini, Amy Chua sama sekali tak ingin melihat anaknya tumbuh menjadi orang biasa, ia ingin memastikan anak-anaknya cerdas di atas anak rata-rata. Tentu saja, bayarannya ialah ia harus memaksa anak-anaknya belajar lebih banyak dibandingkan dengan anak-anak Amerika kebanyakan (di dalam buku ini, ia membandingka bagaimana gaya mendidik ala China dan ala barat-Amerika). Bahkan, penulis tidak peduli jika pada akhirnya ia harus dibenci oleh anaknya sendiri akibat dari kerasnya ia ketika mengasuh. Satu hal yang saya begitu tangkap dari buku ini ialah, betapa ia hanya ingin anak-anaknya tidak menderita di masa depan dengan segala daya dan upaya yang dapat ia lakukan. Para orang tua China tak pernah berhenti untuk beristirahat mendidik anaknya sebelum anak-anaknya menjadi yang terbaik.
Di dalam buku ini pun, saya menemukan nilai-nilai China yang terkenal. Seperti yang telah kebanyakan kita ketahui, orang-orang China selalu menghargai guru, orang tua, dan orang yang lebih tua. Bisa jadi itu menjadi kunci keberhasilan mereka selain upaya yang jauh lebih keras dibandingkan orang lain. Tak ada kata istirahat untuk berjuang.
But just because you love something, doesn’t mean you’ll ever be great. Not if you don’t work. Most people stink at the things they love.
Meskipun selalu keras, ternyata perjalanan yang dialami Amy ketika mendidik anaknya tidak selamanya berjalab dengan mulus. Ia mulai menemui kesulitan ketika harus mendidik anaknya yang kedua. Ia melihat bahwa sifat pemberontak ada di dalam diri anaknya yang kedua. Tidak seperti filosofi China yang biasanya, di mana anak-anak China akan selalu menghormati orang tuanya, ia tidak menemukan hal itu pada anaknya yang kedua. Akhirnya sang ibu harus menyerah dan membiarkan anaknya untuk memilih hal yang disukainya. Ia tetap berfikir bahwa menjadi hebat bukan hanya masalah kecintaan tanpa upaya yang keras. Ia masih tak dapat menerima keputusan anak keduanya yang lebih memilih melakukan hal yang disukainya. Meskipun demikian, ia tersadar kalau ia sama sekali tak mampu memberikan kehendaknya pada anaknya lagi.
Di sini saya melihat jika Amy Chua akhirnya mengakhiri bukunya dengan mengatakan jika mendidik anak ala China dilakukan hingga anaknya berusia hingga 18 tahun untuk mengembangka kepercayaan diri dan nilai-nilai yang unggul, lalu dilanjutkan dengan gaya barat di mana setiap individu harus menemukan langkah mereka masing-masing ke depannya. Sebelumnya ia lebih sering mengataka betapa gaya mendidik orang-orang China jauh lebih mendidik anak-anak dibandingkan dengan gaya barat. Di sini, akhirnya ia bersikap lebih adil di mana ia menggabungkan pola pendidikan ala China dan barat.
If I died tomorrow, I would die feeling I’ve lived my whole life at 110 percent. And for that, Tiger Mom, thank you.
Buku ini bagus untuk menambah wawasan dalam mendidik anak yang baik. Bagi para orang tua yang bingung bagaimana sebaiknya cara mendidik anak, tidak salah jika ikut membaca buku ini. Meski demikian, memang apa yang diterapkan Amy Chua pada anak-anaknya tida sedikit ditentang oleh orang-orang yang tidak memiliki kesamaan pandangan. Saya sendiri ketika membaca buku ini berusaha menjadi orang yang netral, yang sama sekali tidak memihak antara pendidikan yang dilakukan oleh orang barat dengan pendidikan yang dilakukan oleh orang China. Jika pandangan yang saya pegang sejak awal didasarkan pada bagaimana caranya agar anak berprestasi, saya leih cenderung setuju dengan apa yang dilakukan oleh Amy Chua. Namun di sisi lain, saya melihat ada sedikit ketidakcocokan budaya yang saya anut terhadap apa yang dilakukan oleh Amy Chua. Tidak aneh ketika akhirnya muncul keresahan mengenai apa yang sebaiknya harus dilakukan orang-orang barat ketika akhirnya harus mendidik anak. Ketika banyak dari mereka yang tak ingin eksistensi mereka dikalahkan oleh manusia-manusia unggul yang dilahirkan dari China, mereka harus mengakui jika, ‘jangan-jangan salah satu kakalahan mereka terhadap keunggulan bangsa China adalah karena mereka tidak mendidik anak dengan gaya China? Lalu ketika mereka ingin mengikuti pola mendidik mereka, mereka ragu karena itu tak sesuai dengan apa yang selama ini budaya mereka anut.’
Uniknya, reaksi keras sempat beredar di Amerika pascaperedaran buku ini. Amy Chua kerap disebut sebagai ibu yang menghalalkan tindak kekerasan pada anak-anaknya. Meski demikian, apa yang dipikirkan media ternyata salah. Reaksi pembelaan anak pertamanya, Sophia Chua-Rubenfeld pun muncul melalui surat terbukanya kepada media yang menyatakan bahwa ia mencintai ibunya dan membeberkan alasan-alasannya mengapa ia begitu mencintai ibu-Chinanya-yang keras. Ia juga bahwa mengatakan bahwa, jika ia besok meninggal, ia akan meninggal dengan perasaan telah menjalani kehidupannya hingga 110%, dan intuk itulah ia pun berterima kasih pada sang ibu.
Saya akhirnya berhasil membaca buku ini setelah iseng mencarinya di situs ini. Awalnya saya tidak berfikir akan mendapatkan buku ini, namun apa yang saya perkirakan salah. Barangkali karena buku ini menjadi salah satu buku yang fenomenal sepanjang tahun 2011, akhirnya versi ebooknya juga muncul. Jarang ada buku baru yang tersebar secara cuma-cuma. Oh, atau memang saya yang jarang update buku baru sehingga ketika melihat buku ini telah muncul dalam versi ebook (gratis pula!), saya pun langsung mendownloadnya. Karena formatnya e.pub, tidak semua software bisa membacanya sehingga saya menggunakan Calibre.
Leave a Reply