Judul : a time to dance a time to die—kisah luar biasa tentang wabah menari 1518 Pengarang : John Waller Alih bahasa : Rosida W. Simatupang Penerbit : PT Elex Media Komputindo Tempat dan tahun terbit : Jakarta, 2011 Halaman : 262 Halaman
14 Juli 1518
Di suatu tempat, di antara jalanan sempit yang penuh sesak, sejumlah dermaga, kandang, bengkel, bengkel kerja pandai besi, dan pasar malam di kota abad pertengahan Strasbourg, Frau Troffea melangkah keluar rumah, lalu mulai menari. Bisa bilang tak ada musik pengiring. Dia juga tak menunjukkan tanda-tanda sukacita saat roknya mengembang di sekeliling kedua kakinya yang bergerak cepat. Tanpa menggubris kecemasan suaminya, dia terus menari sepanjang hari.
Wabah menari
Misteri wabah menari (dancing plague, dancing mania, choreomania) ini diduga berawal dari rasa kecewa masyarakat terhadap situasi sosial-ekonomi dan tingkah orang kaya serta pihak gereja terhadap sistem tata pemerintahan. Pada tahun-tahun tersebut bentuk pemerintahan masyarakat berada dalam kekaisaran romawi, akhir abad pertengahan. Mereka, pemerintah, orang kaya, dan imam-imam serta rohaniwan gereja, sama sekali tak pernah sedikitpun memperhatikan kondisi rakyat.
Pada masa-masa sulit tersebut, di saat kepercayaan mistis terhadap hukum tuhan dan dunia yang fana dimiliki oleh hampir seluruh masyarakat, kaum rohaniwan gereja justru menunjukkan sikap tak terpuji. Para imam dan biarawati kala itu saling menodai kesucian kepercayaan seperti dengan hidup mewah, membebankan hampir semua pajak pada rakyat jelata, minum-minuman, serta lain sebagainya. Tidak aneh jika tidak sedikit para humanis serta elit sekuler masa itu yang menentang tindakan tak terpuji gereja pada masa itu. Karena kebobrokan kehidupan pada masa itulah, Sebastian Brant mengungkapkan jika tak lama lagi akan segera datang hukuman dari tuhan.
Hukuman dari tuhan tersebut, agaknya mulai terlihat ketika rakyat jelata yang miskin dikenai pajak tinggi yang membuat mereka lebih miskin sementara pada saat itu kondisi panen banyak yang sedang gagal. Gagal panen menyebabkan kelaparan, wabah penyakit seperti cacar dan english sweat menyerang rakyat jelata. Selain itu, wabat sifilis mulai merajalela, menyerang mulai dari rakyat miskin hingga bahkan kaum rohaniwan, semakin membuktikan bahwa kaum rohaniwan ternyata tidak suci seperti yang semestinya. Setelah itu, kota Strassbourg didera dengan ancaman invasi pemberontakan akibat ketidakpuasan terhadap sikap sok suci gereja. Hidup pada masa itu benar-benar terasa seperti neraka.
Ilustrasi mengenai wabah menari pena dan tinta oleh Pieter Bruegel yang dikenal sebagai Die epileptikerinnen von Meulebeeck. 1564. Muncul pada halaman 72. Sumber gambar dari sini
Hingga pada akhirnya, sebuah kejadian mengejutkan tiba. Pada 14 Juli di tahun 1518, sebuah wabah mengerikan dan misterius menyerang kota Strassbourg. Diawali oleh tarian Frau Troffea, selanjutnya ratusan pria dan wanita tertular tarian wanita malang itu dan mulai menari terus-terusan hari demi hari, minggu demi mingu, pada musim panas yang paling menyiksa.
Sebuah manuskrip sejarah dalam arsip kota mengatakan (halaman 4),
Ada wabah aneh baru-baru ini
Terjadi di kalangan rakyat jelata
Banyak orang mulai mengalami kegilaan
Mulai menari,
Tanpa hambatan,
Sampai mereka jatuh pingsan.
Banyak orang kehilangan nyawa karenanya.
Ratusan orang berpeluh dan mendapati tubuhnya terluka, kaki melepuh dan dialiri darah, namun tak satupun dari mereka yang mampu menghentikan tarian. Sesekali mereka hanya akan berhenti sejenak, hanya untuk berhenti sebentar memulihkan sedikit tenaga, lalu seakan-akan lupa daratan mereka pun kembali menari. Bahkan, semakin hari semakin banyak orang yang terdorong untuk ikut melakukan tarian. Tak ada yang dapat menghentikan mereka hingga akhirnya ratusan penari tersebut kehilangan nyawa. Wabah menari yang berlangsung sepanjang Agustus hingga awal September tersebut pada akhirnya menghadirkan kepiluan dan ketakutan yang mencekam di antara masyarakat.
Menurut pakar kedokteran pada masa itu, wabah menari diakibatkan oleh “melimpahnya darah” serta hanya bisa disembuhkan “melalui musik”. Sehingga pada masa itu, ketika wabah tari dianggap semakin menjadi, dibuat keputusan bahwa penyembuhan yang paling tepat ialah dengan jalan membiarkan para penari malang tersebut terus menari tanpa hambatan. Musik dijalankan serta dibantu oleh penari sungguhan yang terus menemani penari malang tersebut menari-nari. Malangnya, ternyata upaya tersebut justru semakin banyak mengundang korban. Bahkan orang-orang yangs sebelumnya hanya menemani menari pun akhirnya tidak sedikit yang justru terjangkit wabah tersebut. Selanjutnya, wabah menari tersebut pada akhirnya berangsur-angsur berakhir setelah gereja pada akhirnya memberlakukan misa untuk memohon pengampunan bagi para korban menari. Karena bukti-bukti tersebut, para ahli menyimpulkan bahwa wabah menari pada masa itu dipicu oleh kondisi keresahan dan ketidakpuasan akibat takhayul.
Kondisi Trans
Wabah tarian dilakukan oleh masyarakat yang pada umumnya sedang berada dalam kondisi trans. Wabah tari adalah respon terhadap kesengsaraan, sugesti, dan kepercayaan (hlmn : 129). Hal ini secara tak langsung juga akhirnya menjelaskan mengapa tidak ditemukan wabah menari. Bahkan saat ini wabah menari lebih terdengar fantastis, sulit dipercaya kalau wabah itu dulu benar-benar ada! Saat ini, kebanyakan orang telah berpendidikan dan berpola pikir secara modern. Segala jenis takhayul hampir tak selamanya mudah dipercayai oleh kalangan skeptis modern.
Kondisi trans menjadi salah satu kunci untuk memahami wabah menari. Tekanan psikologis yang ekstrim dapat menyebabkan trans (hlm: 192). Selain tekanan psikologis, malnutrisi, diet rendah/kekurangan mineral, pola makan yang buruk pun dapat menyebabkan kondisi trans spontan. Jika diperhatikan, hal-hal tersebut memang terjadi pada masyarakat Strassbourg tahun 1518 sehingga masuk akal jika kondisi trans pun dialami oleh masyarakat kala itu.
Selain itu, ada pula fenomena sugesti. Kondisi trans spontan yang dialami Frau Troffea nampaknya mensugesti masyarakat untuk ikut menari. Ini sama kasusnya dengan peristiwa kesurupan. Peristiwa kesurupan yang pada dasarnya dilandasi oleh takhayul, yakni makhluk halus yang masuk ke dalam tubuh manusia, bisa jadi sebenarnya hanya berupa kondisi trans yang lain. Selanjutnya, seakan-akan tersugesti, kadang peristiwa kesurupan juga dapat memanggil lebih banyak korban.
Leave a Reply