Setiap harinya, kira-kira sebanyak 1.000 wanita meninggal karena komplikasi kehamilan pada tahun 2008. Dari 1.000 wanita, 570 ibu tinggal di daerah sub-Sahara Afrika, 300 di Asia dan lima orang di negara berpenghasilan tinggi. Risiko kematian wanita akibat komplikasi kehamilan dan kelahiran di negara berkembang 36 kali lebihh tinggi dibandingka dengan wanita yang hidup di negara-negara maju. Jumlah kematian ibu dianalogikan dengan jumlah kematian yang diakibatkan oleh tertabraknya dua pesawat jumbo jet setiap harinya.
Kompleksitas Kesehatan Wanita
Definisi kesehatan bagi kaum wanita harus mencerminkan semua dimensi khas kehidupan wanita, yakni yang meliputi peran reproduktif (melahirkan anak), takdir biologis (siklus menstruasi), hubungan seksual tempat mereka hidup, bekerja dan beranjak tua (Koblinsky, Campbell, dkk., 1996). Bagaimanapun juga, banyak kaum wanita yang terpaksa menemui ajal sebelum waktu ekspetasi oleh sebuah sebab spesifik jender, yakni melahirkan.
Sebenarnya, di belahan dunia manapun kaum wanita dapat hidup lebih lama dibandingkan dengan kaum pria. Pernyataan tersebut justru mengaburkan tentang jutaan kematian prematur hanya karena mereka dilahirkan sebagai wanita. Salah satunya, sebuah dimensi yang kerap menjadi perhatian kesehatan namun sulit untuk diupayakan pengentasannya ialah dalam penurunan Angka Kematian Ibu (AKI). AKI di Indonesia saat ini mencapai angka 228/100.000 penduduk (Statistics Indonesia, 2007) sekaligus menjadi salah satu yang terbesar di Asia Tenggara.
Ketimpangan gender yang melatarbelakangi kematian ibu
Berdasarkan definisinya, kematian ibu hanya dapat terjadi jika terdapat tiga peristiwa dalam satu rangkaian, 1) seorang wanita hamil, 2) wanita tersebut menderita kompikasi kehamilan, 3) kompliksi terebut dapat menyebabkan kehamilan (Freedman dan Maine, 1997). Ketiga kerangka tersebut akhirnya menentukan tiga titik intervensi penting untuk menurunkan tingkat kematian Ibu, yakni mencegah kehamilan, mencegah perkembangan komplikasi, dan mencegah kematian yang disebabkan oleh komplikasi tersebut.
Dari sisi penyebab medisnya, kemaian ibu dapat disebabkan oleh akibat kematian obstetrik langsung dan tidak langsung. Di negara-negara berkembang, proporsi dari masing-masing penyebab kematian ini ialah 25% untuk obstetrik tidak langsung dan 75% obstetrik langsung (Freedman dan Maine, 1997). Padahal, salah satu hal yang menyebabkan adanya kematian akibat obstetrik ialah pelayanan kesehatan yang kurang memadai.
Di negara-negara berkembang, kematian yang dialami oleh wanita memiliki kaitan yang erat dengan status wanita di masyarakat. Menurut Mukherjee dalam Suara Masyarakat Miskin, pria memiliki otoritas tertinggi dalam menentukan tempat persalinan istri. Hal ini dilakukan karena pada dasarnya mereka mengacu pada pendapatan, akses, serta preferensi tempat persalinan. Akibat lamanya keputusan ini tidak jarang menyebabkan wanita sering mengalami keterlambatan untuk pelayanan kehamilan/kelahiran.
Di Indonesia, setiap 4.5 juta kelahiran yang terjadi, yakni 760,000 (17%) merupakan kelahiran yang tidak diinginkan atau tidak direncanakan. Lebih jauh lagi, dari seluruh kehamilan tidak diinginkan tersebut, 22% wanita melakukan aborsi (World Health Report, 2005). Padahal aborsi di Indonesia menyumbang kira-kira 11% dari angka kematian ibu. Terlebih lagi, sebagian besar wanita yang melakukan aborsi adalah wanita yang telah bersuami (Utomo B dalam Guttmatcher, 2001). Hal tersebut mengindikasikan adanya ketidaksengajaan untuk hamil pada wanita-wanita tersebut.
Solusi
Program keluarga berencana yang diterapkan di Indonesia sesungguhnya memiliki potensi yang besar untuk menurunkan tingkat AKI. Selain itu, sebesar 40% kehamilan di dunia merupakan kehamilan yang tidak direncanakan sedang 22% dari kehamilan tersebut berakhir dengan aborsi yang diinduksi. Hal demikian selanjutnya mengindikasikan bahwa terdapat adanya kebutuhan besar yang tidak terpenuhi untuk layanan Keluarga Berencana yang efektif.
Usulan saya mengenai program keluarga berencana yang berpotensi menurunkan angka kematian ibu bukan berarti menunjukkan bahwa wanita, seharusnya harus mengikuti program KB sepenuhnya.
Pada sebagian wanita, KB dengan metode suntik atau pil dapat menimbulkan masalah kesehatan, misalnya pertambahan berat badan setelah menggunakan KB atau gangguan yang lebih serius, seperti perdarahan. Hal yang disayangkan ialah wanita yang tidak cocok menggunakan kedua metode ini pada akhirnya memutuskan untuk berhenti mengikuti program KB. Padahal metode KB tidak hanya terbatas pada metode modern. Masih banyak metode tradisional maupun alternatif yang dapat digunakan dalam perencanaan kehamilan, yang memiliki efek samping minimal. Sayangnya, keberadaan metode KB tradisional maupun alternatif seperti abstinensi periodik atau amenorrhea laktasi justru jarang dikomunikasikan, terutama dalam pesan-pesan melalui media massa. Tenaga kesehatan maupun penyuluh KB seharusnya juga merekomendasikan metode-metode KB tradisional dan alternatif di samping metode KB modern, serta membantu kliennya memilih metode KB mana yang paling cocok dan aman baginya.
Data SDKI tahun 2007 menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pria dalam KB masih rendah dibandingkan dengan wanita. Survei yang melibatkan wanita berstatus menikah di Indonesia menunjukkan persentase pasangannya (suami) yang menggunakan metode kontrasepsi, baik kondom, sterilisasi, maupun abstinensi berkisar kurang dari 2%. Data dari SDKI 2007 menunjukkan bahwa dari 30.931 wanita berstatus menikah pada 33 provinsi yang disurvei, hanya 1,3% dari pasangannya yang meggunakan kondom, 1,5% menggunakan metode abstinensi periodik, dan 0,2% melakukan sterilisasi.
Saya menawarkan suatu bentuk kerja sama antara suami dan istri untuk melakukan perencanaan kehamilan yang tidak terlalu menitikberatkan pada kaum wanita. Bagaimanapun, partisipasi pria dalam perencanaan keluarga perlu ditingkatkan demi mengurangi berbagai resiko metode kontrasepsi yang kerap dialami oleh wanita. Wanita berhak menentukan dirinya untuk memilih metode kontrasepsi yang sesuai dengan kondisi tubuhnya. Selain tidak menimbulkan efek negatif bagi pengguna, metode ini merupakan metode yang paling menekankan suatu bentuk kerja sama antara wanita dan pria dalam perencanaan kehamilan yang efektif.
Leave a Reply