Saya cukup sering menjadikan diri saya sendiri untuk bereksperimen terhadap suatu hal. Seperti ingin melihat sekuat apa saya mampu menahan diri untuk menjadi orang yang tenang, bagaimana agar setiap bangun tidur hal pertama yang saya ambil bukanlah telefon genggam ataupun jam, apakah saya bisa tetap terjaga tanpa menghirup kopi, serta lain sebagainya. Saya ingin melihat bagaimana saya ketika dihadapkan pada suatu kondisi tertentu. Apakah saya tipe yang berinisiatif tinggi dan fleksibel, tenang menghadapi tekanan, dan lain sebagainya. Alasan lainnya adalah saya selalu memgingatkan diri sendiri bahwa mengikuti tes kepribadian tidak pernah cocok untuk saya. Mungkin saya tipe mood swing, yang bagaimanapun juga hanya bisa menjawab soal-soal kepribadian berdasarkan mood.
Minggu lalu saya meyakinkan diri untuk menahan diri tidak melenguh soal Jakarta dan berbagai aktivitas di dalamnya.
Ada apa dengan Jakarta? Bahwasannya saya tidak suka tinggal di Jakarta dan daerah sekitarnya merupakan suatu kenyataan. Saya selalu bilang kepada teman-teman saya yang tidak ingin pindah dari Jakarta bahwa mereka adalah orang-orang terpilih yang tangguh. Setiap hari menghadapi kemacetan, setiap hari berdesak-desakan di angkutan umum, panas terik yang menyengat setiap keluar dari kantor pada siang hari, belum ditambah dengan kejaran deadline, tidak ada pilihan untuk mangkir dari lembur di akhir pekan, life is surely tough. Bertahan hidup di kota besar seperti Jakarta menjadi sebuah perjuangan yang besar.
Biasanya ketika seseorang berusaha untuk tetap menjadi positif, dia bisa menemukan sisi-sisi positif lain yang sebelumnya tertutup oleh emosi negatif. Atau setidaknya, ini akan menumbuhkan rasa terima kasih pada apa yang sudah ia miliki. Karena kenyataanya, saya kembali diingatkan bahwa seterik apapun panas yang melanda Jakarta, saya masih lebih jauh terlindungi dibandingkan mereka yang berjualan keliling di pinggir jalan, menarik bemo dan kopaja, hingga pengemis. Jika pusing dengan kemacetan dan setiap hari harus berdesakan di jalanan, sebenarnya saya harus bersyukur karena ada banyak orang yang dengan hal yang sama, harus berangkat jauh lebih pagi dari saya. Letih karena deadline? Namanya juga bekerja, masih mending punya pekerjaan dari pada tidak. Apalagi ditambah dengan kenyataan jika tingkat pengangguran terdidik di Indonesia semakin meningkat :’)
Tetapi, saya berusaha juga supaya kalau bisa ya gak kerja di Jakarta.
Ada satu hal lagi yang saya catat dari keras dan padatnya kehidupan di Jakarta. Interaksi manusia satu dan yang lainnya menjadikan Jakarta sebagai… Lingkungan sosial yang variatif. Sebagai manusia yang secara diam-diam senang memperhatikan orang di sekitar, Jakarta menjadi tempat untuk bertemu dengan orang-orang yang super-duper unik, yang di jamin di pedesaan pasti langka banget. Mungkin ini akan menjadi satu hal paling saya rindu jika suatu saat nanti saya akan pergi meninggalkan ibu kota 😉
Bagaimanapun, Jakarta masih menjadi pesona yang memang akan selalu menarik orang-orang untuk singgah dan menetap.
Leave a Reply