Judul : Lean in: women, work, and the will to lead
Penulis : Sheryl Sandberg
Penerbit : Alfred A. Knopf
Cetakan : 2013
Tebal : 165 halaman Rating: 4/5
Saya sudah ingin sekali mengulas buku ini semenjak membacanya beberapa tahun yang lalu. Keinginan itu lantas tertunda hingga Sheryl Sandberg menerbitkan buku keduanya yang bertema ‘losing’ kira-kira dua tahun setelah suaminya meninggal.
“When a girl tries to lead, she is often labelled bossy. Boys are seldom called bossy because a boy taking the role of a boss does not surprise or offend. As someone who was called this for much of my childhood, I know that it is not a compliment. The stories of my childhood bossiness are told (and retold) with great amusement.”
Membaca paragraf di atas membuat perasaan saya begitu campur aduk. Di satu sisi saya merasa sangat sedih karena apa yang diungkapkan oleh Sandberg benar-benar sesuai dengan kenyataan, di sisi lain, saya terus mengangguk begitu keras dan kadang-kadang saya merasa seperti dihantam oleh kenyataan bahwa apa yang ingin saya lakukan begitu sulit dan dipandang begitu kejam oleh kebanyakan orang, tidak terkecuali oleh para perempuan sendiri. Itulah dampak beberapa bab pada saya.
Sebagai perempuan, sering kita dihadapkan pada bentuk pilihan antara karir dan keluarga, antara karir dan rencana ketika setelah menikah, antara karir dan menjadi ibu rumah tangga. Pilihan-pilihan ini, secara tidak langsung mempengaruhi potensi perempuan di dunia kerja. Acapkali, mereka akan terdiam sejenak, lalu memilih untuk bertahan agar tidak menjadi yang terlalu menonjol karena mereka memikirkan kemungkinan-kemungkinan semacam promosi, penambahan pekerjaan berpotensi mengurangi waktu bersama keluarga, serta lain sebagainya. Menariknya, Sandberg menambahkan banyak sekali riset yang umumnya dipublikasikan di Harvard Business Review yang sebagian besar menunjukkan tindakan-tindakan seperti inilah yang membuat perempuan pada umumnya menahan diri mereka sendiri untuk mencapai posisi penting di perusahaan. Perempuan yang berani mengembangkan diri di karir bukan berarti tidak akan bisa menjadi panutan bagi keluarga. Kepada perempuan yang sudah berkeluarga namun ingin mengembangkan bisnis/skill baru, jangan takut untuk memulai. Sandberg berulang kali menekankan bahwa keberhasilannya di dalam keluarga merupakan hasil dari bentuk kerja sama, partnership, dengan sang suami yang saat itu juga memiliki posisi sebagai CEO perusahaan Survey Monkey. Saya menemukan bahwa Sandberg memberikan suara yang jelas, relevan, penting mengenai masalah kepemimpinan dan kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki, serta pemahaman untuk orang tua yang bekerja baik di dalam dan di luar rumah.
Sheryl Sandberg menjadi sosok perempuan yang dianggap berhasil dalam membagi kehidupannya baik dalam lingkup keluarga maupun pekerjaan. Posisi beliau saat ini ialah Chief Operating Officer Facebook, setelah sebelumnya menjadi Wakil Presiden Global Online Sales and Operations di Google. Selesai menulis buku ini, Sandberg menjadi salah satu perempuan paling berpengaruh di dunia serta istilah “Lean in” menjadi kata yang sangat kuat untuk menunjukkan bentuk empowerment pada seluruh perempuan di dunia.
Sebagai seseorang yang bekerja di korporasi, apa yang dialami oleh Sandberg sangat nyata saya alami. Bahwa bagaimana seorang pemimpin perempuan masih dianggap sebelah mata karena adanya tendensi emosional yang dibawa oleh perempuan, menjadikan kebanyakan orang merasa jika menjadi seorang perempuan sekaligus pemimpin di posisi strategis perusahaan, bukan sebuah ide yang baik, jika tidak ingin disebut sebagai terlalu berisiko. Dalam hal ini, Sandberg melakukan pendekatan melalui bentuk kepemimpinan Autentik, authentic leadership, yakni suatu bentuk pendekatan yang mana penekanannya ialah untuk membangun legitimasi pemimpin melalui hubungan yang jujur dengan pengikut yang memberikan value pada masukan-masukan mereka serta dibangun atas dasar etika.
Buku ini adalah bacaan wajib tidak hanya untuk perempuan, tetapi juga untuk para laki-laki. Semoga buku ini segera dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia agar semakin banyak orang Indonesia yang membacanya.
Setelah membaca buku ini, saya menemukan versi Ted Talks yang menurut saya bisa menjadi pembuka mengapa membaca buku ini sangat perlu, bukan hanya bagi perempuan.
a major shoutout to the recent muslimah meme
sumber: IG Kalis Mardiasih
Keputusan untuk mengulas kembali buku ini sebenarnya karena ada trigger dari sebuah akun muslimah yang mendiskreditkan bahwa karir terbaik perempuan ialah sebagai ibu rumah tangga, serta bayaran terbaiknya ridho suami, dan prestasi terbaiknya adalah mencetak anak sholeh.
Sebelum memutuskan untuk melanjutkan sekolah, beberapa orang, baik teman maupun keluarga, banyak yang mempertanyakan perihal pendidikan yang tinggi bagi perempuan yang masih lajang akan mempersulit mencari pasangan. Bagi saya, perihal jodoh itu rejeki Tuhan aja, sih. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dengan saya menunda untuk sekolah maka saya sudah pasti akan memperoleh pasangan yang sudah pasti akan menikahi saya? apakah dengan memilih untuk tidak menerima tawaran karir akan memastikan saya untuk bertemu dengan pasangan yang akan siap menikahi saya? jawabannya adalah belum tentu. ketidaktentuan itulah pada akhirnya yang membulatkan saya untuk tetap mengejar karir dan pendidikan.
Meme menyoal karir terbaik seorang perempuan adalah ibu rumah tangga merupakan salah satu hal dari ada banyak sekali hal mengenai perempuan yang menurut saya sangat tidak tepat karena yang terpenting ialah membiarkan para perempuan menentukan pilihannya sendiri.
FEATURE PHOTO BY DENYS NEVOZHAI FROM UNSPLASH
Leave a Reply