Judul : Men without women
Penulis : Haruki Murakami
Penerbit : Harvill Secker
Tahun cetakan : 2017
Jenis : Paperback
Rating: 5/5 (Bias karena saya penggemar Murakami)
It’s quite easy to become Men Without Women. You love a woman deeply, and then she goes off somewhere.
Cinta itu tidak pernah mudah, namun cinta yang tidak tergesa-gesa juga adalah penderitaan. Setidaknya kalimat pembuka tadi menjadi kesimpulan sesaat setelah selesai membaca kumpulan cerpen di sini. Buku ini merupakan koleksi tujuh cerita pendek yang beberapa dapat dibaca secara daring di situs The New Yorker. Koleksi cerita pendek di sini umumnya adalah cerita yang dapat dikatakan menyedihkan, yang mengandung kenyataan pahit dari pengalaman-pengalaman, yang setidaknya, akan dirasakan oleh sebagian orang saat menghadapi penolakan. Yang menarik, tema Men without women di buku ini bukan berarti menggambarkan perasaan-perasaan pria pasca kehilangan yang mengerikan terhadap sang wanita yang sebelumnya. Ini jelas bukan koleksi cerita yang dipenuhi tentang pria putus asa. Sebaliknya, yang kita temui di sini adalah pria-pria normal, sederhana, yang beberapa dapat dikatakan berhasil secara karir dan finansial, ada yang berhasil menikahi wanita yang mereka sayangi, ada yang justru kehilangan, atau ada juga yang untuk pertama kalinya akhirnya dipertemukan. Mereka kemudian harus melanjutkan cinta mereka setelah hal seperti itu.
Yang paling saya segani dari Murakami ketika menulis ialah menyoal bagaimana para lelaki yang menjadi tokoh di sini memutuskan cara mereka untuk menghadapi persoalan yang mereka alami, yang mana di sini adalah, persoalan mengenai wanita di hidup mereka. Hal yang paling ekstrim dilakukan oleh salah seorang tokoh pria di sini ialah ia benar-benar tidak bisa hidup, dan keinginan untuk hidupnya mati begitu wanita yang sangat ia cintai rupanya tidak memberikan cinta yang sama dengan yang ia berikan. Sekali lagi, para pembaca Murakami tentu tau jika tokoh-tokoh pria di dalam cerita Murakami dari dulu sudah cukup tipikal, yakni secara emosional mereka adalah lelaki normal yang menghadapi situasi-situasi yang agak rumit untuk dipahami, atau setidaknya, baru dapat pelan-pelan mampu dipahami seiring berjalannya waktu.
If a woman was very beautiful but had nothing to say, or no opinions of her own, Tokai became discouraged. No operation could ever improve a woman’s intellectual skills. (hal.81)
Meski sebelumnya saya bilang kalau tokoh-tokoh Murakami di sini semuanya begitu mirip dan sangat tipikal, beberapa variasi yang paling jelas terlihat di sini ialah level hubungan antara sang lelaki dengan sang wanita. Ada yang telah bercerai, ada yang sudah menikah, ada yang memang literally kesepian, ada yang masih berpacaran, ada yang sudah duda, bahkan ada pria yang tiba-tiba bermetamorfosis. Berbagai level hubungan tadi menurut saya merupakan bagaimana cara Murakami menjangkau seluruh lelaki, bahwa yang dapat merasakan perasaan pahitnya penolakan bukan hanya laki-laki yang belum memiliki pasangan, tetapi juga laki-laki manapun itu dapat merasakan bahwa akan ada potongan puzzle di hati mereka yang hilang ketika mereka hidup tanpa wanita.
Bagi saya, membaca Murakami memang sedikit bisa memberikan kenyamanan dari lelahnya hidup sendiri. Tulisan Murakami bagi saya selalu terasa seperti sihir yang Indah mulai dari diksi, gaya penulis, serta ungkapan rasa yang dia tuangkan benar-benar membuat hati saya nyaman. Ia menjadikan objek rasa kesepian dan kesendirian yang dialami oleh manusia begitu indah dan nyaman untuk dirasakan. Sayangnya, justru karena itulah saya pelan-pelan menghindar untuk membaca buku-bukunya. Lha wong sangat sulit diterima akal, bagaimana bisa kesepian dan penolakan yang dirasakan bisa membuat pembaca yang membacanya justru merasa dibuai dengan keindahan? Karena sangat tidak masuk di akal, saya mengkhawatirkan diri saya setiap kali terbuai dengan gaya bahasa di buku-buku Murakami.
That’s what it is like to lose a woman. And at a certain time, losing one woman means losing all women. That’s how we become Men Without Women.
Setiap kali membaca tulisan Murakami, tidak jarang juga saya selalu merasa kalau tokoh di dalam cerita Murakami, juga mengandung keputusasaan. Saya tidak tahu, tetapi sebenarnya bagi saya yang perempuan, tokoh-tokoh Murakami (yang adalah lelaki) seperti perlu dikasih sentuhan kasih sayang yang tulus, diberi motivasi jika life must go on no matter how hard it is to lose someone so dear to you. Lebih seringnya lagi, kalau saya sedang sedikit gak sabaran, ingin sekali rasanya menampar wajah para tokoh-tokoh di buku ini kalau keputusasaan itu tidak pernah baik kalau terlalu lama dipelihara. Namun kembali lagi, Murakami tetaplah Murakami. Tulisannya seakan-akan memang hadir untuk membuai kekosongan dan kesepian hati yang dirasakan oleh sebagian besar manusia, entah agar mereka merasa terobati atas sendirian yang mereka rasakan, atau justru sengaja membuat mereka semakin hanyut dalam kesepian.
PHOTO BY RYOJI IWATA FROM UNSPLASH
Leave a Reply